Oleh: Tim Lokus Ulul Albab
Kasus kekerasan yang dilakukan FPI terhadap para peserta yang berada di pelataran tugu Monas 1 Juni lalu menyisakan beberapa permasalahan. Ustadz Habib Rizieq ditangkap disertai para asatidz yang lain. terlepas dari pro dan kontra kita semestinya mampu bertindak secara kritis, dan berusaha menghindarkan berfikir secara mendalam, lantas mendukung atau menolak berdasarkan pada unsur prejudice dan subyektivitas kita. Untuk itu diperlukan analisa yang agak mendalam. yang jelas kita tidak mungkin memandang serta menyatakan dengan mudah bahwa "kasus FPI" bahwa FPI telah melakukan kekerasan, oleh karena itu ia salah, kalau ia salah maka ia pantas untuk dibubarkan . Oleh karena itu ia harus diberikan sanksi hukum, sebagaimana yang telah dinyatakan SBY...... karena aksi FPI telah melanggar HAM.
yang pertama adalah, bagaimana kita harus memperhatikan bagaimana jalannya aksi di jakarta itu sendiri sehingga ktia mengetahui keadaan yang sebenarnya.
1. Pernyataan FPI bahwa FKKBB membuat provokasi dengan menyatakan bahwa FPI adalah Laskar Setan, laskar Maling dll. hal tersebut tentu akan membuat kericuhan, suatu hal yang sangat wajar apabila FPI terprovokasi. (secara sosiologis kumpulan massa akan lebih mudah terprovokasi apalagi yang memprovokasi adalah pihak yang berseberangan dengannya).
2. FKKBB menurut keterangan dari polri maupun Ustadz Habib Rizq sendiri mempunyai jadwal yang berbeda atau tempat yang berbeda. Polisi pasti sudah mengetahui bahwa kedua kelompok tersebut pasti akan bersinggungan apabila bertemu, apalagi kalo ada provokasi.
3. Laskar FPI mempunyai photo orang yang sedang menudingkan pistol dari pihak FKKBB.
para masyarakat pun tidak mau tau, hal tersebt didukung dengan sentimen media terhadap FPI. banyak opini "miring" yang dibuat media bahwa FPI selalu bertindak keras, tidak kenal perikemanusiaan dengan menggambarkan aksi-aksi pengrusakan tanpa meninjau sisi emosional dari FPI itu sendiri. dan Anehnya tidak ada yang mempunyai sikap yang kritis terhadap permasalahan ini.
Kurangnya sikap kritis terhadap "kasus FPI" itu, masyarakat terbawa secara emosional kepada suatu "kalimatun sawa'" bahwa FPI perlu dibubarkan dan melupakan bahwa ketika itu negara dalam kondisi "tidak stabil" dengan banyaknya tuntutan pembatalan kenaikan BBM. ribuan mahasiswa turun ke jalan di berbagai kota, dan subsidi untuk mahasiswa pun tidak mampu untuk menanggulangi kekecewaan para mahasiswa tersebut. tetapi dengan kejadian di Monas tersebut, isu BBM tersebut "raib" entah kemana. APakah ada unsur intervensi pemerintah? bisa jadi, karena manajemen penjadwalan demonstrasi semuanya sudah ada pada pihak kepolisian, sehingga polisi maupun aparat semestinya mampu mencegah timbulnya bertemunya dua kelompok yang apabila bertemu akan berpotensi konflik tersebut.
FPI sendiri sebagaimana laskar islam di Solo (FPIS atau LUIS) para anggotanya disatukan oleh bentuk sentimen terhadap berbagai bentuk "ketidakpuasan terhadap realitas" , sehingga pertanyaannya;
1. kenapa realitas laskar islam muncul?
tidak mungkin laskar muncul dari ruang kosong atau kumpulan dari manusia2 biadab. penyesatan opini ini jelas suatu bentuk pembodohan masyarakat itu sendiri. karena masyarakat selalu disuguhi gambar-gambar aksi tanpa mampu melihat "suasana hati" FPI, dengan meninjau dari segi psikologis maupun sosiologis.
2. Kenapa laskar islam melakukan kekerasan?
biasanya penggambaran FPI itu lebih ditekankan pada akibat dari aksi kekerasan daripada menyelidiki terlebih dahulu permasalahan dan sebab dari tindakan kekerasan.
Biasanya orang yang kebal telinganya akan menyatakan sebuah pernyataan "apapun yang terjadi kekerasan tidak diperbolehkan". Sehingga dianggap kalimat mati tanpa bisa dikritik.
pertanyaannya adalah pernyataan tersebut menggambarkan sikap atau menggambarkan realitas?. pernyataan tentang sikap sah-sah saja, tetapi pernyataan sikap tidak akan mengubah realitas sama sekali kecuali dengan mencegah munculnya kekerasan tersebut dan darinya dapat ditanggulangi. sangat aneh apabila menghukumi realitas dengan nilai-nilai tersebut, apalagi mengatasnamakan ilmiah.
apakah ada suatu penelitian tentang munculnya keberadaan dan sikap kekerasan FPI? bentuk kemaksiatan yang jelas-jelas melanggar agama tidak mampu ditangani, wacana-wacana agama yang mengatasnamakan kebebasan dan demokrasi jelas-jelas merusak dan menghancurkan agama islam dibiarkan begitu saja (bukti ini jelas tampak!!!!!), rusaknya nilai-nilai tradisi dan pluralnya masyarakat Jakarta menjadi suatu sebab tersendiri.
banyak pihak oleh FPI dianggap telah melanggar batas-batas toleransi. kesakralan islam yang selama ini dipegang teguh seakan dihiraukan saja, dan diangagap sebagai suatu yang tidak relevan lagi. kemaksiatan jelas dianggap sebagai bentuk melanggar kesakralan itu sendiri. suatu bentuk pelecehan apabila kemaksiatan disandingkan dan membiarkannya bebas hidup di indonesia. apalagi banyaknya wacana kebebasan yang didengungkan akan terjadi anomie dan berpotensi untuk bersinggungan secara emosional dengan masyarakat santri itu sendiri.
Potensi ini tidak hanya terlihat di Jakarta, melainkan juga di Surakarta, atau ke depan mungkin di Madura. Tidak akan terbayangkan apabila masyarakat Madura dengan budaya santrinya akan terasuki budaya yang dibawa dari Surabaya, dan akses tersebut dimudahkan dengan dibangunnya Jembatan suramadu.
Nilai luar ketika bersinggungan dan bertentangan dengan nilai tradisi akan berpotensi memicu konflik. nilai tradisi banyak dipengaruhi oleh agama. nilai ini tidak hanya bersifat aturan atau tatanan moralitas, melainkan juga mengkonstruksi emosional seseorang, sehingga mempunyai sifat suci, dan tabu. Apabila dilanggar maka akan menimbulkan reaksi emosional dari pihak yang bersangkutan.
hal tersebutlah yang memicu kemunculan FPI. kemunculan FPI itu sendiri pasca 98, diakibatkan
stabilitas negara yang tinggi pada waktu sebelumnya. Mau diakui atau tidak, rezim soeharto adalah sebuah rezim yang mempunyai stabilitas yang paling tinggi se-asia tenggara. (biasanya dinegara ketiga ada pameo yang menyatakan; stabilitas negara berkorelasi dengan pelanggaran HAM di negarayang bersangkutan). tetapi kumpulan massa, dan potensi kekerasan sudah ada sebelumnya, sehingga kemunculan organisasi tinggal tunggu penggagasnya.
apakah realitas itu dihukumi dengan nilai universal? sebagai obyek yang netral, maka kami menganggapnya adalah wajar, karena nilai, ide atau gagasan itu dimunculkan untuk kepentingan legalitas belaka. ide dan gagasan kebebasan manusia hanya mungkin ada karena faktor kepentingan. faktor kepentingan legalitas terhadap berbagai bentuk kebebasan penuh terhadap semua tingkah laku.
Ataupun bisa digunakan sebagai "simbol" untuk melawan kelompok yang secara tradisi ditentangnya, hal ini dapat dilihat dari menjamurnya gagasan liberal di tangan golongan muda NU yang melakukan prinsip perlawanan terhadap komunitas Santri Urban (MMI, FPI, LUIS, HTI ataupun gerakan tarbiyah) dengan menggunakan simbol "Liberalisme", sebagai wacana pemersatu mereka dalam jalinan emosional berdasarkan ikatan primordional tradisional mereka. (faktor yang lain kemungkinan adalah banyaknya penilaian negatif terhadap NU yang kolot, tradisional, dan kurang maju. sikap ini didukung dengan kurangnya penghargaan terhadap orang nahdliyin pada kelompok keagamaan di kota, tetapi di sisi yang lain faktor ikatan primordial telah membentuk kelompok tersendiri. yang terjadi kemudian pertentangan antara generasi NU dan islam urban).
Dan tidak simpatiknya orang NU terhadap FPI itu benar-benar diakibatkan oleh kasus kekerasan FPI juga perlu dipertanyakan. karena Orang NU jelas akan bertindak keras apabila di sekitarnya terjadi nilai-nilai yang menyimpang dari agama itu sendiri. penyerangan dari orang NU terhadap kantor FPI lebih diakibatkan oleh penghinaan ataupun pelecehan FPI kepada sosok Gus Dur (ataupun tokoh NU yang lain yang berseberangan dengan FPI) daripada aksi kekerasan itu an sich.
Ulama Jawa Timur akan membubarkan hiburan malam yang berada di dekat pondoknya dimana di situ tinggal komunitas santri. begitu juga mereka akan mengecam goyang ngebor a la inul daratista. seandainya hiburan malam tetap dilakukan, dan polisi tidak mampu mencegah juga akan timbul kasus kekerasan. (kekerasan "ditangan" penulis tidak selamanya bersifat negatif, berbeda "ditangan" kaum liberal, dimana kekerasan selalu bermakna negatif).
Semestinya ada suatu bentuk equilibirium, oleh karena itu manajemen konflik perlu ditingkatkan. pemerintah bertindak terhadap 'aksi-aksi massa' yang dianggap mencoreng islam (walaupun mungkin akan dianggap melanggar HAM) ataukah pemerintah sendiri akan menyaksikan menjamurnya laskar-laskar islam?
satu komentar saya untuk menutup posting ini;
Alangkah tidak adil apabila satu faktor dimusnahkan tetapi faktor yang lain dibiarkan.
Read More......
Kasus kekerasan yang dilakukan FPI terhadap para peserta yang berada di pelataran tugu Monas 1 Juni lalu menyisakan beberapa permasalahan. Ustadz Habib Rizieq ditangkap disertai para asatidz yang lain. terlepas dari pro dan kontra kita semestinya mampu bertindak secara kritis, dan berusaha menghindarkan berfikir secara mendalam, lantas mendukung atau menolak berdasarkan pada unsur prejudice dan subyektivitas kita. Untuk itu diperlukan analisa yang agak mendalam. yang jelas kita tidak mungkin memandang serta menyatakan dengan mudah bahwa "kasus FPI" bahwa FPI telah melakukan kekerasan, oleh karena itu ia salah, kalau ia salah maka ia pantas untuk dibubarkan . Oleh karena itu ia harus diberikan sanksi hukum, sebagaimana yang telah dinyatakan SBY...... karena aksi FPI telah melanggar HAM.
yang pertama adalah, bagaimana kita harus memperhatikan bagaimana jalannya aksi di jakarta itu sendiri sehingga ktia mengetahui keadaan yang sebenarnya.

1. Pernyataan FPI bahwa FKKBB membuat provokasi dengan menyatakan bahwa FPI adalah Laskar Setan, laskar Maling dll. hal tersebut tentu akan membuat kericuhan, suatu hal yang sangat wajar apabila FPI terprovokasi. (secara sosiologis kumpulan massa akan lebih mudah terprovokasi apalagi yang memprovokasi adalah pihak yang berseberangan dengannya).
2. FKKBB menurut keterangan dari polri maupun Ustadz Habib Rizq sendiri mempunyai jadwal yang berbeda atau tempat yang berbeda. Polisi pasti sudah mengetahui bahwa kedua kelompok tersebut pasti akan bersinggungan apabila bertemu, apalagi kalo ada provokasi.
3. Laskar FPI mempunyai photo orang yang sedang menudingkan pistol dari pihak FKKBB.
para masyarakat pun tidak mau tau, hal tersebt didukung dengan sentimen media terhadap FPI. banyak opini "miring" yang dibuat media bahwa FPI selalu bertindak keras, tidak kenal perikemanusiaan dengan menggambarkan aksi-aksi pengrusakan tanpa meninjau sisi emosional dari FPI itu sendiri. dan Anehnya tidak ada yang mempunyai sikap yang kritis terhadap permasalahan ini.

FPI sendiri sebagaimana laskar islam di Solo (FPIS atau LUIS) para anggotanya disatukan oleh bentuk sentimen terhadap berbagai bentuk "ketidakpuasan terhadap realitas" , sehingga pertanyaannya;
1. kenapa realitas laskar islam muncul?
tidak mungkin laskar muncul dari ruang kosong atau kumpulan dari manusia2 biadab. penyesatan opini ini jelas suatu bentuk pembodohan masyarakat itu sendiri. karena masyarakat selalu disuguhi gambar-gambar aksi tanpa mampu melihat "suasana hati" FPI, dengan meninjau dari segi psikologis maupun sosiologis.
2. Kenapa laskar islam melakukan kekerasan?
biasanya penggambaran FPI itu lebih ditekankan pada akibat dari aksi kekerasan daripada menyelidiki terlebih dahulu permasalahan dan sebab dari tindakan kekerasan.
Biasanya orang yang kebal telinganya akan menyatakan sebuah pernyataan "apapun yang terjadi kekerasan tidak diperbolehkan". Sehingga dianggap kalimat mati tanpa bisa dikritik.
pertanyaannya adalah pernyataan tersebut menggambarkan sikap atau menggambarkan realitas?. pernyataan tentang sikap sah-sah saja, tetapi pernyataan sikap tidak akan mengubah realitas sama sekali kecuali dengan mencegah munculnya kekerasan tersebut dan darinya dapat ditanggulangi. sangat aneh apabila menghukumi realitas dengan nilai-nilai tersebut, apalagi mengatasnamakan ilmiah.
apakah ada suatu penelitian tentang munculnya keberadaan dan sikap kekerasan FPI? bentuk kemaksiatan yang jelas-jelas melanggar agama tidak mampu ditangani, wacana-wacana agama yang mengatasnamakan kebebasan dan demokrasi jelas-jelas merusak dan menghancurkan agama islam dibiarkan begitu saja (bukti ini jelas tampak!!!!!), rusaknya nilai-nilai tradisi dan pluralnya masyarakat Jakarta menjadi suatu sebab tersendiri.
banyak pihak oleh FPI dianggap telah melanggar batas-batas toleransi. kesakralan islam yang selama ini dipegang teguh seakan dihiraukan saja, dan diangagap sebagai suatu yang tidak relevan lagi. kemaksiatan jelas dianggap sebagai bentuk melanggar kesakralan itu sendiri. suatu bentuk pelecehan apabila kemaksiatan disandingkan dan membiarkannya bebas hidup di indonesia. apalagi banyaknya wacana kebebasan yang didengungkan akan terjadi anomie dan berpotensi untuk bersinggungan secara emosional dengan masyarakat santri itu sendiri.
Potensi ini tidak hanya terlihat di Jakarta, melainkan juga di Surakarta, atau ke depan mungkin di Madura. Tidak akan terbayangkan apabila masyarakat Madura dengan budaya santrinya akan terasuki budaya yang dibawa dari Surabaya, dan akses tersebut dimudahkan dengan dibangunnya Jembatan suramadu.
Nilai luar ketika bersinggungan dan bertentangan dengan nilai tradisi akan berpotensi memicu konflik. nilai tradisi banyak dipengaruhi oleh agama. nilai ini tidak hanya bersifat aturan atau tatanan moralitas, melainkan juga mengkonstruksi emosional seseorang, sehingga mempunyai sifat suci, dan tabu. Apabila dilanggar maka akan menimbulkan reaksi emosional dari pihak yang bersangkutan.
hal tersebutlah yang memicu kemunculan FPI. kemunculan FPI itu sendiri pasca 98, diakibatkan

apakah realitas itu dihukumi dengan nilai universal? sebagai obyek yang netral, maka kami menganggapnya adalah wajar, karena nilai, ide atau gagasan itu dimunculkan untuk kepentingan legalitas belaka. ide dan gagasan kebebasan manusia hanya mungkin ada karena faktor kepentingan. faktor kepentingan legalitas terhadap berbagai bentuk kebebasan penuh terhadap semua tingkah laku.
Ataupun bisa digunakan sebagai "simbol" untuk melawan kelompok yang secara tradisi ditentangnya, hal ini dapat dilihat dari menjamurnya gagasan liberal di tangan golongan muda NU yang melakukan prinsip perlawanan terhadap komunitas Santri Urban (MMI, FPI, LUIS, HTI ataupun gerakan tarbiyah) dengan menggunakan simbol "Liberalisme", sebagai wacana pemersatu mereka dalam jalinan emosional berdasarkan ikatan primordional tradisional mereka. (faktor yang lain kemungkinan adalah banyaknya penilaian negatif terhadap NU yang kolot, tradisional, dan kurang maju. sikap ini didukung dengan kurangnya penghargaan terhadap orang nahdliyin pada kelompok keagamaan di kota, tetapi di sisi yang lain faktor ikatan primordial telah membentuk kelompok tersendiri. yang terjadi kemudian pertentangan antara generasi NU dan islam urban).
Dan tidak simpatiknya orang NU terhadap FPI itu benar-benar diakibatkan oleh kasus kekerasan FPI juga perlu dipertanyakan. karena Orang NU jelas akan bertindak keras apabila di sekitarnya terjadi nilai-nilai yang menyimpang dari agama itu sendiri. penyerangan dari orang NU terhadap kantor FPI lebih diakibatkan oleh penghinaan ataupun pelecehan FPI kepada sosok Gus Dur (ataupun tokoh NU yang lain yang berseberangan dengan FPI) daripada aksi kekerasan itu an sich.
Ulama Jawa Timur akan membubarkan hiburan malam yang berada di dekat pondoknya dimana di situ tinggal komunitas santri. begitu juga mereka akan mengecam goyang ngebor a la inul daratista. seandainya hiburan malam tetap dilakukan, dan polisi tidak mampu mencegah juga akan timbul kasus kekerasan. (kekerasan "ditangan" penulis tidak selamanya bersifat negatif, berbeda "ditangan" kaum liberal, dimana kekerasan selalu bermakna negatif).
Semestinya ada suatu bentuk equilibirium, oleh karena itu manajemen konflik perlu ditingkatkan. pemerintah bertindak terhadap 'aksi-aksi massa' yang dianggap mencoreng islam (walaupun mungkin akan dianggap melanggar HAM) ataukah pemerintah sendiri akan menyaksikan menjamurnya laskar-laskar islam?
satu komentar saya untuk menutup posting ini;
Alangkah tidak adil apabila satu faktor dimusnahkan tetapi faktor yang lain dibiarkan.
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberitaan kasus FPI vs AKKBB. Pemberitaan tentang FPI sebenarnya tidak perlu dikomentari jelas menunjukkan suatu sikap media yang sama sekali tidak memihak.
BalasHapusMedia lebih suka pada penyesatan opini dan pembodohan masyarakat daripada mengungkapkan suatu kasus secara transparan dan profesional. ada kesan bahwa media sama sekali tidak menggunakan logika profesionalitasnya ketika mengkaji masalah FPI
ada beberapa hal yang dapat kami jadikan rujukan dalam membuktikan logika kami di atas;
1. Pemberitaan tentang FPI disertai dengan pernyataan-pernyataan yang memojokkan dan mencoreng daripada kata-kata yang bersifat netral.
2. Hal tersebut ditambah dengan penayangan-penanyangan yang telah disiapkan dan dipilih hanya ketika "kasus pemukulan oleh FPI" dan dilakukan berulang-ulang untuk mengelabui masyarakat.
3. Lebih banyak menampilkan wawancara yang kontra dengan FPI dari para korban "kekerasan" daripada wawancara langsung dengan tokoh FPI.
4. (yang paling penting) media sama sekali belum pernah menyinggung penyebab dari kejadian dan hanya menampilkan akibat dari kasus 1 Juni
5. Lebih dulu menekankan prejudice dan subyektivitas Media daripada bersikap obyektif, sehingga penilaian lebih dulu diutamakan, dan penguatan penilaian itu belakangan (dg mencari2 dan membelokkan opini).
Oleh karena itu Kenapa Media begitu berwenang dalam penyesatan opini;
1. mendudukkan FPI sebagai terdakwa kriminal mempunyai nilai jual berita yang berpotensi mendatangkan nilai komersial yang lebih tinggi.
2. sikap dan ideologis tertentu yang dimiliki oleh pimpinan, wartawan dan redaksi lebih memainkan peran penting dalam penyesatan opini tersebut.
ini dulu... wssl