Senin, 09 Februari 2009

SEBUAH RENUNGAN KRITIS TENTANG KEBEBASAN (Metode Dekonstruksi Terhadap Wacana Kebebasan)

Oleh: Akhmad Arifin*


Selama ini kekurangberanian para pemikir tidak lagi terhadap ajaran suci keagamaan, mereka bahkan terlalu vulgar untuk melakukan kritik terhadap seluruh dimensi suci agama (nilai, ritual bahkan keyakinan agama). Sebaliknya sikap kritis tidak pernah ditujukan untuk melakukan kritik (dengan menggunakan langkah dekonstruktif) terhadap apa-apa yang "ditawarkan ke otak mereka". Semoga Tulisan ini Berguna bagi adik-adik Lokus sekalian.



Kebebasan? Sebuah kata yang tiap hari dipakai untuk menjunjung tinggi idea kemanusiaan. Didalamnya terdapat kebebasan berfikir, kemauan, kebebasan memilih, dan tanggungjawab penuh pada dirinya sendiri. Manusia dapat bertindak berdasarkan atas pikiran dan hatinya. Kebebasan merupakan sebuah kalimat yang memerdekakan fikiran dari semua belenggu-belenggu nilai, moralitas, agama bahkan adab kemanusiaan itu sendiri.

Pertanyaannya, pernahkah kita merenungkan tentang arti dan hakekat kebebasan?. Bagaimana mungkin kebebasan itu ada? Bukankah seluruh tindakan kita hanya reaksi dari lingkungan kita?. Bukankah Kita berfikir melalui/berdasarkan bahasa (sistem pemaknaan) yang sudah ada (taken for granted ) dari lingkungan kita,? bukankah kita bertindak sebagai reaksi dari lingkungan kita?. Lalu, agaimana sebuah bentuk kebebasan itu mungkin?

Secara ontologis sulit menemukan kebebasan manusia. secara falsafati hakekat manusia mempunyai arti sebagai resultansi dari beberapa produk; Manusia produk budaya, produk social, produk bahasa, maupun produk alam (tubuhnya), hasil totalitas sejarah kemanusiaan, dll.

Secara esensi? Apa essensi dari manusia? Mungkin ribuan jawaban dari kalimat ini banyak kita jumpai. “manusia adalah binatang berfikir”, “manusia adalah makhluk social”, “manusia adalah tubuh yang bebas bertindak”, …… “manusia adalah tahi kucing”, dll. Kita dapat menemukan ungkapan tanpa makna itu sampai ribuan kali dan kita tak dapat menyatakan bahwa salah satunya pasti benar. Mungkin kita hanya bisa meraba-raba, mana essensi tentang manusia yang lebih benar.

Tentang humanisme banyak dilakukan penawaran pemikiran, salah satunya adalah model filosofis humanisme meletakkan kebebasan manusia sebagai etika, bukan ontologism kemanusiaan. Masalah etika bersangkutan dengan permasalahan bagaimana suatu tindakan itu dinyatakan sebagai tindakan yang benar?. Dalam membicarakan hal kebebasan ini kita juga didorong dengan pertanyaan yang sama, bagaimana bentuk kebebasan itu mungkin? Ia berasal darimana? apakah ia berasal dari proses berfikir? dari proses berfikir yang bagaimana?

Jawaban tentang kebenaran etika banyak yang mengembalikan pada rumusan Kant. Salah satu unsure utama dalam pemikiran Kant adalah kebenaran dalam bertindak ada pada diri setiap manusia itu secara langsung. Manusia dalam wilayah tindakannya, termuat didalamnya pembedaan baik dan buruk secara sendirinya. Perbuatan baik merupakan tujuan dari perbuatan pada dirinya sendiri dan bukan sebuah sarana. Suatu perbuatan dikatakan sebagai yang benar sebagaimana termuat dalam diri langsung tiap manusia, dalam pemikiran Immanuel Kant seringkali disebut sebagai Imperatif Categories, apabila dibahasa Indonesia-kan mungkin lebih mendekati istilah “Hati Nurani”.

Pertanyaannya adalah: bagaimana hati nurani itu mungkin. Bukan kah setiap kali tindakan apa yang dikatakan benar itu merupakan hasil struktur social (Karl Marx), atau hasil pengalihan bentuk kecemasan instingtual manusia (Freud). Bukankah banyak pertentangan antara satu orang dengan orang lain tentang apa yang dikatakan benar? Bukankah manusia itu produk dari lingkungan? Bagaimana hati nurani itu dikatakan sebagai benar?

Kembali pada pertanyaan apakah Kebebasan sebagai bentuk hati nurani (imperative kategoris)? Seandainya ia bentuk bagian dari hati nurani, maka kebebasan itu mendapatkan tempat pijakan yang rapuh, karena kebebasan sebagai wujud “moralita” terbentuk melalui beragam konteks social. Ia hanya produk dari pemikiran manusia itu sendiri yang sepenuhnya ditentukan oleh factor kesejarahan.

Seandainya Kebebasan itu kita tempatkan pada “Suatu Kebenaran yang tak tergugat”, maka pertanyaannya, bagaimana suatu penilaian itu dapat berdiri sendiri di luar pengalaman manusia? Bukankah segala macam idea itu berasal dari “ruang sejarah”? bagaimana ia tiba-tiba muncul dihadapan seluruh manusia sebagai idea yang obyektif dan benar secara sendirinya?

Di sebagian mahasiswa IAIN / UIN kebebasan manusia itu mempunyai segi pragmatis. Kebebasan itu identik penilaian positif, ia menjadikan manusia lebih kreatif dan mampu mencerdaskan tiap manusia yang bertindak berdasarkan kebebasannya. Pertanyaannya, apakah kebebasan membuat orang lebih cerdas dan kreatif itu dapat teruji secara ilmiah. Bukankah kecerdasan dan kreativitas adalah factor bawaan genetika?

Aspek pragmatis yang lain dalam memandang kebebasan adalah bagaimana kalau seandainya semua manusia tidak melakukan intervensi kepada manusia yang lain, sehingga semua manusia dapat bertindak berdasarkan pada kemauan dan pikiran sehatnya. Kita tak dapat membayangkan masyarakat seperti itu, karena masyarakat itu tidak pernah ditemukan. Semua masyarakat didalamnya ada nilai-nilai ada hokum ataupun aturan yang mengikat semua manusia. Kalau manusia hanya dapat berfikir melalui fakta (melalui bahasa) bagaimana mungkin ia dapat mencitakan masyarakat tanpa suatu ikatan.

Habermas mempunyai jawaban yang menarik dalam hal memecahkan kebuntuan ini yaitu dengan kebebasan tidak diartikan secara vulgar tetapi lebih dimasukkan dalam komunikasi nyata antar manusia, sehingga menghasilkan consensus. Consensus dalam pemikiran Jurgen Habermas, di satu sisi lebih banyak memuat pemikiran bebas, kritis, dan memuat asumsi persamaan derajat (egalitarian) dan di sisi yang lain mampu memadukan bagaimana manusia dalam berinteraksi dengan orang lain tidak sepenuhnya menghilangkan kebebasan dirinya.

Pertanyaan yang belum terjawab bagaimana kebebasan itu dikatakan benar? Suatu perputaran pertanyaan yang terus menerus. Tetapi jawaban Jurgen Habermas untuk kasus yang satu ini kebebasan adalah suatu hal yang inhern pada manusia, ia juga memuat kepentingan pada manusia, dan salah satu kepentingan pada manusia itu adalah pembebasan diri dari ruang struktur kesadaran.

Pertanyaannya darimana semua argumentasi bahwa kebebasan itu termuat dalam tiap diri manusia? Mungkin kita cukup puas dengan jawaban “keyakinan metafisis” bahwa kebebasan adalah suatu hal yang utama, suatu hal yang perlu diperjuangkan, suatu hal yang menentangnya berarti orang jumud, kolot, konservatif, dst. Bagaimana mungkin manusia dapat diasumsikan akan bahagia apabila ia dapat bebas? Bukankah agama yang seringkali dikatakan sebagai belenggu kebebasan itu mempunyai sifat candu, sedangkan candu itu menghasilkan kenikmatan, sedangkan kenikmatan itu bagian dari kebahagiaan juga?

Secara ontologism tidak ditemukan jawaban yang memungkinkan suatu jawaban kebebasan itu ditemukan, secara etika juga tidak dapat dikemukakan karena etika itu sendiri bersifat relative jadi kebenaran tindakan termasuk tindakan pembebasan itu sendiri juga relative. Secara pragmatis juga belum tentu menghasilkan manfaat, bahkan pada kasus tertentu akan melibatkan konflik dengan tokoh (yang dikatakan) konservatif, bahkan pemikiran tentang “Kebebasan” malah membuat musuh semakin banyak?

Alangkah bagusnya apabila idea kebebasan itu diakui saja sebagai agama, sedangkan pengikutnya disebut sebagai seorang agamawan bukankah penganut paham kebebasan juga banyak memiliki sifat dogmatis, fanatis, tidak pernah terima apabila dogmatika tersebut dikritik dan mempunyai kecenderungan sangat besar untuk menyerang kepercayaan yang lain? Para pemikir mereka adalah imamnya. Ritualnya adalah diskusi, memimpin demonstrasi menentang semua nilai agama, dll. Seandainya hal ini dilakukan juga akan terjadi perseteruan social terus menerus. Apabila liberalisme (paham Kebebasan) sebagai agama mungkin pengikut paham kebebasan adalah seorang pengikut paling fanatic/radikal diantara semua pengikut keyakinan agama. Sebuah bentuk keyakinan yang secara keseluruhan dogmatikanya ditentukan secara irrasionalitas.

* Mahasiswa Aqidah & Filsafat

Read More......

4 komentar:

  1. To: Mas Arifin
    mas ini dari seorang adik kelas kamu yang paling setia mengikuti tulisan di blog ini karena aku suka pemikiran Mas Arifin yang cerdas, kritis tapi agamis.

    Di sini kok sepertinya Mas seperti menelan ludah sendiri sih, mas? Katanya sudah berhenti menulis di blog ini tetapi kok tetap posting lagi.

    BalasHapus
  2. Assww..
    Makasih atas pujiannya, tapi saya tak pantas menerimanya, karena saya memang tidak mempunyai kualitas apa-apa sebagaimana yang kamu sebutin.

    tentang menelan ludah..
    memang ada pepatah jawa bahwa seorang raja / bangsawan /pemimpin itu pantang untuk menelan ludahnya sendiri.

    yang jelas aku bukan seorang pemimpin, apalagi seorang bangswan or Raja, aku hanya manusia biasa yang dijadikan alas kaki bagi sang raja .. hehehehe.. (kayak lagunya Riff hehehe)

    memang banyak pertimbangan waktu posting, terutama tentang konsistensi saya (mungkin terkesan mencla-mencle). Tetapi saya lebih baik menelan ludah sendiri daripada membiarkan blog ini mati dengan sendirinya. Ada konsep dari dalil ushul fiqh yang menyatakan "Maa laa yudraku kulluh la yutraku kulluh" (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua), walaupun hal ini mungkin bertentang dengan sikap wuru'ah atau permasalahan urfiyah

    Dan saya tidak akan serta merta menyalahkan pihak lain, walaupun ini sebenarnya tidak lagi menjadi amanah saya. Mungkin saya tidak maksimal dalam meregenerasi bagi orang yang mempunyai skill "Media dan Jaringan", padahal banyak sekali kader-kader yang sangat potensial apalagi hanya sekedar untuk mengurusi atau sekedar posting tulisan.

    Makasih atas perhatian dan komentar kritisnya.

    wassalamu'alaikum wr wb

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum...

    kepada segenap civitas intelektual UIN Sunan Kalijaga..
    mari kita dukung BARIS Perubahan di kampus putih
    buat apa berlama-lama
    toh, yang lama pun tak ada perubahan.

    Bersatu Membangun Perubahan
    "Partai PAS"

    BalasHapus
  4. asslww....

    sebagai tambahan dalam posting ini yang harus diperhatikan adalah:
    1. Pemikiran keislaman yang dikembangkan oleh para muslim liberal adalah dengan pemakaian sudut pandang: Keilmuan empiris/ fenomenologi / eksistensialis, yang pada akhirnya mereduksi agama pada asumsi sebagaimana epistemologi di atas.
    2. Pemakaian sudut pandang untuk mengkaji wilayah keagamaan (apapun agamanya), tidak melakukan analisa terhadap sudut pandang yang dipakai.
    3. Subyektivitas dari "peneliti" sangat kental, sehingga hasil penelitian pun sama dengan prejudice dari peneliti itu sendiri.

    ketiga hal itu merupakan proses reduktif yang sangat biasa ditemukan dalam wilayah penelitian S-1 (Skripsi) di kampus kita, bukan suatu hal yang harus kita sikapi dengan kemarahan.

    mungkin salah satu hal yang harus mesti dilakukan adalah dengan cara menyelidiki terlebih dahulu adalah bangunan asumsi keilmuan / epistemologi. Analisa terhadap ASUMSI BESAR merupakan suatu hal yang sangat penting apabila dihadapkan pada bentuk pengkajian keagamaan dengan sarana filsafat/ epistemologi pengetahuan. apabila hal ini terlewatkan, maka agama hanya dianalisa melalui sudut pandang pikiran mereka, tanpa terlebih dahulu apa yang mereka pikirkan dianalisa, seakan-akan sudut pandang sudah valid dengan sendirinya.



    thank's ....

    BalasHapus