Minggu, 06 Juli 2008

Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Pemikiran Keagamaan

Oleh: Akhmad Arifin

Alhamdulillah, tulisan ini telah selesai. Walaupun aku kerjakan di tempat fasilitas internet untuk umum. Bukan di Cafe yang nyaman dengan mencicipi sebuah copy dan menikmati fasilitas hotspot yang disediakan sebagaimana di cafe Nusantara atau cafe kualitas keren yang lainnya. Tulisan ini juga tidak dibuat di sebuah warnet yang nyaman dengan tempat duduk yang sangat privasi dan ditiupi udara AC yang sejuk. Tapi ditulis di sebuah ruang komputer di Fakultas Ushuluddin, yang tidak disediakan kursi untuk duduk, ataupun disediakan fasilitas untuk sekedar nancepin flash disk apalagi memasang CD. Tapi Alhamdulillah, dengan ditulis secara berkala (empat kali) dapat menjadi tulisan yang membahas hermeneutika dan dampaknya terhadap pemikiran keagamaan. Thanks bagi siapa saja yang membaca maupun yang menunjukkan apresiasinya kepada tulisan kami.

Manusia muslim meyakini bahwa Kitab suci al Qur’an merupakan kitab “petunjuk”. Kata ini mengasumsikan adanya suatu arah yang jelas apa yang dilakukan pembaca agar ia tidak tersesat, dan senantiasa menyesuaikan amal perbuatannya berdasarkan petunjuk tersebut. Berdasarkan pada petunjuk al Qur’an dan As Sunnah terseut, maka kebahagiaan manusia secara ruhiyah dan duniawiyah dapat tercapai.

tetapi dalam proses penafsiran (pembacaan) kaum muslimin terhadap penafsirannya tersebut, tidak dapat dilepaskan dari kondisi subyektivitasnya dalam menafsirkan, sehingga tidak dapat lepas dari campur tangannya. sehingga teks tidak mampu bicara secara sendirinya, melainkan ada unsur "eksistensi" manusia yang tidak dapat dilepaskan dalam menafsirkan sebuah teks.
Tetapi, makna "eksistensi manusia" antara Barat dengan Islam sangat berlainan. Di dunia Barat, eksistensi manusia adalah kebebasan penuh manusia dalam memaknai, bertindak, dan semuanya adalah dari kualitas pribadi manusia, tanpa ada suatu nilai yang sakral dapat menghalangi kebebasan manusia itu sendiri. Dalam Islam tidak mengenal, 'perbuatan anda terserah anda', ada suatu perpaduan antara nilai agama dan moral dalam seluruh kegiatan manusia. ada Misi yang dalam Islam dinyatakan sebagai suatu penghambaan kepada Allah, sehingga manusia di bumi tidak saja memenuhi kehidupan di Akhirat belaka, melainkan bagaimana mewujudkan kehidupan yang terikat secara spiritual, moral dan emosional dengan Islam.

Ketika Eksistensi ini dipahami berperan besar dalam pembacaan teks, maka yang terjadi adalah usaha merumuskan secara filosofis apa makna dan hakekat dari pemahaman kita terhadap teks. maka, muncul lah studi Hermeneutika. dalam hermeneutika sendiri al Qur'an tidak dimaknai sebagai "suatu pedoman untuk mencapai kebahagiaan" (hudan) melainkan mempunyai titik tekan pada;

Penafsiran yang memberikan titik tekan pada eksistensi pembaca atau kebebasan penuh dalam menafsirkan berbagai kemungkinan makna dari teks yang bersifat tak terbatas.
- Penekanan pada kondisi (sosiologis, politik, budaya) yang menelingkupi sebuah teks.
- Keterlibatan penafsir dalam proses penafsiran (prejudice, kecenderungan dan kepentingan penafsir)
- Kritik terhadap penafsiran teks klasik serta usaha terus menerus memahami "filosofis penafsiran"

konsekwensi dari sifat hermeneutika di atas adalah, pemikiran filosofis tidak terkendali, dan membawa perdebatan-perdebatan, diskusi-diskusi. sehingga al Qur'an tidak lagi sebagai petunjuk netral, tetapi pemahaman keislaman, merupakan suatu obyek diskusi filosofis, tanpa adanya suatu arahan, bahwa al Qur'an mempunyai makna sebagai petunjuk. Islam, banyak dilakukan peninjauan secara antropologis, sosiologis, psikologis untuk menemukan jawaban apa itu islam. suatu metodologi yang dipakai barat untuk mengkaji berbagai fenomena (baik alam dan sosial). Corak penafsirannya pun berubah dari penafsiran dengan corak literal kepada corak kajian humaniora. dari tinjauan terhadap gramatika kepada kajian sosio-historis.

Ada dua jenis bentuk penafsiran, yang pertama adalah penafsiran tradisionalistik. penafsiran jenis ini berusaha membakukan makna. Makna mempunyai sifat penafsirang yang tunggal, bukan dualistik atau pluralistik. makna bersifat muhkam, tidak bermakna majazi, kecuali apabila terjadi ketidakserasian seperti kata "Kursi Allah" tidak mungkin bermakna literleks. Tetapi apabila suatu teks tersebut mempunyai makna yang banyak, maka ia disebut sebagai mujmal. Dalam tradisi Islam sendiri, penafsiran makna dari teks, sudah dapat terbagi-bagi tergantung pada jenis teks itu sendiri.

jenis penafsiran kedua adalah modernistik. dalam aliran ini terjadi suatu bentuk peralihan dari makna teks, kepada pemahaman akan teks. suatu agama bukan merupakan suatu makna teks yang sifatnya tetap dimana selaludicarikan makna nya sekuat mungkin, "makna" hanya merupakan pemahaman yang tidak dapat lepas dari historisitas manusia dalam memahami agamanya. Pemahaman ini tidak lepas dari sejarah Gereja sendiri, dimana waktu itu gerakan protestanisme menolak klaim gereja, bahwa hanya penafsiran pihak gereja yang valid. Mereka menyuguhkan alternatif pemikiran "tafsir" yang lebih liberal, individual, kritis, dan humanis. (artinya semua orang berhak melakukan penafsiran, 'makna" teks tidak hanya dicari melalui gereja, tidak harus sama dengan gereja, dan meletakkan kebebasan penafsiran sebagai otonomi iman)

Kemerdekaan berfikir tersebut, ditambah dengan Hermeneutika jenis Gadamerian,dimana lebih meletakkan segi eksistensial manusia dalam memahami teks daripada "makna obyektif". sehingga pemahaman akan teks, adalah eksistensi manusia karena "Faktisitasnya" atau ke"ada"an dirinya yang terbuang didunia, dimana ia mengungkapkan kesadarannya (siapa dirinya) daripada ia harus turut serta masuk dalam aliran makna teks dan menyesuaikan tindakannya dengan teks yang ia baca tersebut. teks tersebut tidak mempunyai apapun, ia adalah barang mati, ia hidup karena ia dibaca dipahami, dan darinya dapat memunculkan beragam pemahaman. Pemahaman manusia lah sebagai bagian dari eksistensi manusia yang konkret, bukan pada teks mati yang berasal dari masa lalu, yang tidak dapat berbicara atas apapun.

Hermeneutika yang dikembangkan oleh mereka berbeda dengan hermeneutika Klasik, seperti Scheirmacher ataupun Emilio Betti. Scheirmacher, dalam hermeneutikanya tidak meletakkan produktivitas makna dari teks, melainkan usaha reproduktif. Produktif mengasumsikan bahwa penafsiran atau pemahaman akan teks merupakan hasil "kreativitas pembaca" bukan pencarian makna obyektif dari teks, sebagaimana hermeneutika klasik. Dalam pemikiran Scheirmacher, untuk mencari teks, maka yang diperlukan adalah 1) memahami gramatikal yang dipakai pengarang teks, 2) memahami psikologis pelaku berdasarkan penulisan teks ketika ia menuliskan sebuah teks. keduanya adalah sebuah syarat untuk memahami isi teks. apabila hal ini diterapkan pada al Qur'an, maka selain memahami segi gramatikal arab juga bagaimana kondisi turunnya wahyu al Qur'an waktu itu yang mana tidak lepas dari asbabun nuzulnya.

tokoh Abu Zayd sering disebutkan dalam hal ini. ia menyatakan bahwa teks adalah produk lingkungan tertentu. teks tidak pernah lepas dari author yang ditelingkupi kondisi budaya, sosial politik dan responnya terhadap kondisi pada waktu itu. Jelas hal ini, Abu Zayd tergolong hermeneut klasik daripada hermeneut kritis, dimana meletakkan pemahaman pada segi pencarian makna obyektif dari teks daripada penegasan akan falsafah memahami sebagaimana yang dibicarakan dalam studi hermeneutika kritis. (hermeneutika kritis karena lebih banyak merumuskan aspek filosofis pemahaman, maka juga disebut sebagai hermeneutika filosofis)

Tetapi Abu Zayd sendiri tidak menolak hermeneutika Gadamer, karena bagaimanapun penafsiran (menurut Abu Zayd) tidak pernah lepas dari posisi eksistensial penafsir. setelah itu Abu Zayd memakai pendekatan materialisme. maksudnya adalah peninjauan terhadap teks, bahwa teks tidak turun dari tempat yang hampa dari praktek-praktek historis manusia dalam dunia sosial yang nyata. Dengan itu, maka Abu Zayd menolak pendekatan literal atau mengkaji teks hanya pada sisi gramatikal belaka, melainkan bagaimana kondisi material (budaya, sosial, politik) yang nyata waktu itu yang menelingkupi sebuah teks. Tetapi, reader atau pembacaan kembali atas makna teks diberikan tempat, tidak sebagaimana dalam Scheirmacher.(penekanan pada sisi produktif makna, menghendaki adanya otonomi penafsir eksistensial dalam memahami suatu teks).

Berbeda dengan tradisi Penafsiran dalam islam. dalam tradisi penafsiran Islam, lebih ditekankan pada makna yang obyektif, tidak berubah, dan makna tersebut dicari melalui usaha merumuskan apa sih maksud dari teks dengan menyelidiki dari sisi gramatikal teks. Ilmu Nahwu, Shorf, dan Balaghoh merupakan ilmu alat yang sesuai dengan penafsiran seperti itu. Berbeda dengan pendekatan Barat, dari makna menuju pemahaman subyektif atas teks, dari Schermacher ke Gadamer. selain itu tradisi Kritis yang berpangkal dari Hegel, tidak menghendaki suatu ide yang tetap, tetapi menghendaki adanya suatu bentuk dinamika ide yang terus menerus sehingga penafsiran teks, tidaklah bersifat final. teks ditafsirkan terus menerus, tidak pernah final dan melupakan bahwa teks adalah petunjuk manusia. Sehingga penafsiran terus menerus tanpa mengenal lelah, dan tak pernah habis lebih banyak ditekankan daripada bagaimana memahami penafsiran sebagai suatu pencarian makna teks yang dapat berhenti, dan dapat dijadikan patokan sebagai pedoman Hidup manusia. teks sendiri banyak diartikan sebagai ijtihad manusia dalam ruang lingkup terbatas, sehingga ajaran islam, tidak lebih dari hasil suatu kreativitas zaman tertentu, daripada pedoman hidup hakiki manusia.

penundukan paradigma berfikir ini jelas kentara sekali dalam "hermeneutika". dalam hermeneutika, penafsiran lebih ditafsirkan sebagai usaha kreativitas berfikir, perdebatan filosofis yang berkepanjangan, dan menjadikan "keraguan" sebagai modal awal dalam berfikir. eksistensi manusia lebih banyak diberikan tempat daripada penundukan manusia kepada Tuhannya. Penafsiran, dalam tradisi islam lebih banyak condong kepada usaha bagaimana menemukan makna dari teks, sebagai pedoman hidup daripada meragukan isi teks dengan berpangkal pada pendekatan-pendekatan dimana terlebih dahulu mengosongkan teks itu dari tujuannya semula, dari sikap sakral, serta dari perlakuan khusus kepada teks agama. Sehingga pemahaman akan islam, kehilangan ruh agama itu sendiri.

Sebenarnya hermeneutika tidak hanya untuk mengkaji teks keagamaan, walaupun apabila hermeneutika itu masuk ke dunia pemikiran, pasti akan memfokuskan diri pada "dekonstruksi atas teks". Hermeneutika dapat mudah masuk ke wilayah netral sakralitas, seperti sastra, buku klasik dll. tuga hermeneut dalam menyelidiki apa sih ide dalam bentuk tulisan itu maka, hermeneut harus tahu sendiri apa sih tujuan dan makna yang terkandung dalam sebuah teks sebagaimana yang diharapkan dari penulisnya.

contohnya adalah, apabila anda membaca sebuah karya shakespeare, maka anda harus tau bahasa apa yang ia gunakan. Sudah pasti apabila anda berbicara dengan orang luar, prasyarat mutlaknya adalah anda bisa mengerti bahasa apa yang dipakai oleh lawan bicara anda, sebelum anda mengerti makna apa yang terkandung dari apa-apa yang disampaikan kepada anda. begitu juga karya sastra, misalnya Shakespeare sebagaimana yang telah kami sebutkan.

sehingga, tanpa pemahaman akan bahasa yang ditulisnya, maka penafsir akan bertindak semena-mena terhadap teks. Dan hal itu tidak dapat diterapkan dalam bentuk komunikasi antar dua orang asing yang telah kami sebutkan contohnya diatas. kedua, dalam keadaan apa seorang author berbicara. sehingga kita harus mengenal orang itu, dalam keadaaan marah, sedih, dan tenang, akan mempengaruhi bagaimana seorang penulis itu menuliskan sebuah karyanya. Tetapi tentang hal ini, dalam kasus tulisan, interval waktu dan tempat tidak memungkinkan untuk mendialogkan atau mentransmisikan makna dari author ke Reader, oleh karena itu hanya dalam wahana teks lah pemahaman akan makna itu menjadi mungkin. atau setidaknya ditambahkan dengan kondisi apa atau dalam konteks sosial apa teks tersebut dituliskannya.

selain dari pemahaman akan bahasa, dan latar belakang teks tersebut muncul, juga harus mengasumsikan bahwa pemahaman akan teks berpusat pada penangkapan maksud pengarang melalui fungsi semantik teks. Misalnya dicontohkan komunikasi antara dua orang sebagaimana kami sebutkan diatas; seorang pendengar harus menangkap apa maksud dari pembicara, kalau tidak komunikasi tidak akan menjadi bermakna. hal itu adalah bentuk kelogisan. dan hal itu tidak boleh mengasumsikan bahwa si pendengar mempunyai prakonsepsi atau pra asumsi lebih dahulu, konsepsi dan asumsi hanya mungkin ada setelah terjadinya penangkapan teks atas readernya, atau setelah lawan bicara anda ngomong, baru anda bisa mengetahui apa maksud dari pembicara. Dan hal itu didapatkan dari anda sendiri yang mengartikan secara literleks apa bahasa yang disampaikan dari teman anda. sehingga tugas penafsir adalah untuk menangkap maksud pengarang melalui fungsi semantik teks.

Maka dalam hal ini, penafsiran al Qur'an, harus mengetahui dulu aspek gramatikal dari Bahasa Arab yang dipakai, dan kedua, apa asbabun nuzul. selain itu anda harus bergerak dari tujuan apa yang anda raih ketika anda menafsirkan teks. Artinya, tujuan anda adalah mencari makna tunggal dari teks. tanpa hal itu, maka usaha komunikasi anda dengan al Qur'an menjadi sia-sia, karena anda hanya memberikan prakonsepsi anda dan pra asumsi anda pada al Qur'an. Tidak mungkin anda berbicara dengan seseorang, lalu anda berusaha menafsirkan sebanyak mungkin maksud dari pembicaraan teman anda, dan lalu anda suguhkan pluralisme makna kepada teman anda.

Oleh karena itu, hermeneut klasik sangat menentang otoritas pemahaman atas teks adalah dari teks dan pengarang teks itu sendiri, bukan pada penafsir. penafsir hanya mencari makna apa yang terkandung dari teks. apabila terjadi perbedaan dalam tafsir, bukan lagi merujuk pada segi pemahaman penafsir yang berbeda-beda, tetapi makna yang orisinal tersebut tetap pada teks, bukan lagi pada "aku penafsir", sehingga tidak menghendaki pluralisme dan relativisme makna. Walaupun tindakan memahami teks tersebut dapat berbeda, tetapi tetap pada "kisaran dekat" tidak pada "kisaran jauh" (radius dekat dengan makna teks).

Sehingga sifat obyektivitas makna yang obyektif dan lepas dari segi subyektivitas manusia dalam Hermeneutika klasik lah yang dimungkinkan dalam mendudukkan al Qur'an sebagai pedoman hidup daripada hermeneutika kritis, subyektif atau hermeneutika yang mengasumsikan eksistensi diri penafsir, sebagai produk makna.

Asumsi-asumsi dari Hermeneutika filosofis di atas, seperti hermeneutika kritis dimana eksistensi penafsir dalam menafsirkan teks al Qur'an diberikan tempat daripada mengasumsikan bahwa makna teks al Qur'an bersifat tunggal. Dalam Hermeneutika kritis, sifat teks adalah plural, relatif, tergantung pada prakonsepsi-praasumsi reader, dan tergantung seseorang tersebut memaknai teks. Sehingga penafsiran bukanlah suatu hal yang final, rigid dan kaku, melainkan penafsiran yang terus menerus dan tidak mengenal kata berhenti.

berikut adalah asumsi-asumsi yang dikembangkannya;
- Pemahaman akan teks adalah pemahaman seorang reader terhadap teks, adalah perpaduan antara cakrawala (horizon dunia pengalaman dan pengetahuan) seseorang dan bagaimana ia memahami makna dalam teks.
- Karena penafsiran tergantung pada horizon dunia pengalaman manusia dan pengetahuan yang dimilikinya, maka berbagai bentuk pemahaman dimungkinkan dan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan.
- Dalam Memahami teks tersebut, maka terjadi suatu bentuk dinamis tidak pernah berhenti, karena manusia selalu berdinamis membentuk cakrawala pemahaman dan pengalaman keduniaannya. Sehingga dinamika cakrawala yang terbentuk dari pengalamannya dalam kehidupan dan pengetahuannya akan menyebabkan perbedaan pemahamannya antara kini dan esok hari.
- Sehingga teks, bukanlah darinya didapatkan suatu pemahaman yang tidak dapat lepas dari subyektivitas penafsir itu sendiri. Ia dimungkinkan dan maknanya tergantung dari siapa "aku penafsir"
- teks adalah otonom dari pengarangnya. pengarangnya tidak hadir ketika kita memahami suatu teks, sehingga yang ada adalah teks belaka. dan kita menafsirkannya sesuai dengan "apa kita adanya" yang berdialog dengan "teks mati" tersebut. sehingga teks tersebut hidup karena adanya keluar makna, dimana kitalah (reader) yang telah mengeluarkan maknanya
- Oleh karena itu, tidak ada ketentuan atau patokan yang menentukan mana yang benar dan mana yang salah dari sebuah teks tersebut. Karena tiap orang mempunyai horizon masing-masing yang sangat menentukan "produktivitas makna" dari sebuah teks.
- Sehingga dimungkinkan lahirnya makna-makna baru dari teks tersebut. sehingga teks tidak lagi rigid, kaku, final, jumud dll

Oleh karena itu hermeneutika adalah ilmu tentang apa itu "pemahaman". dan hal itu tidak saja diterapkan pada hanya teks tertulis, tetapi segala fenomena wujud. Bagaimana kita memahami seluruh "realitas" itu merupakan juga bentuk "hermeneutika". salah seorang filsuf hermeneutika menyatakan bahwa "everything is text", artinya segala sesuatu adalah teks atau tanda, dan tanda itu harus ditafsirkan. cara penafsiran menurut kaum Gadamerian, adalah sangat relatif, karena ia melihat dari segi eksistensial seseorang dalam memahami segala sesuatu. pemahaman kerbau oleh petani, berbeda dengan pemahaman seorang biolog terhadap kerbau. seorang petani karena mempunyai cakrawala (baca: dunia horizon) yang berbeda dengan biolog, maka ia mempunyai "makna" sebagai alat untuk membajak sawah, dan bisa diternakkan. seorang biolog juga mempunyai pandangan berbeda, kerbau adalah sebuah spesies yang hidup dan dapat digolongkan dalam satu keluarga dengan banteng, karena mempunyai bentuk otonomi tubuh dan sifat yang sama. cara pandang tersebut, meletakkan "pengalaman langsung manusia menghadapi dunia" diberikan tempat yang utama dalam penafsiran.

Tidak hanya pada kasus kerbau, tetapi juga pada kasus teks al Qur'anul Karim. al Qur'anul Karim dapat dilihat sebagaimana teks lain. baik "teks" yang ada didalamnya, keterbentukannya dalam proses sejarah, apa itu Al Qur'an, dapat dilakukan pembacaan berdasarkan pada posisi apa seseorang itu menafsirkan sebuah makna dari al Qur'an. Tetapi ada kendala untuk menyamakan teks al Qur'an dengan teks lainnya;
1. Seluruh lafal dari Al Qur'an dipercaya berasal dari Allah, diciptakan dari ruang hampa historis, dan mempunyai bentuk kesakralan. Sehingga menuntut perlakuan yang berbeda.
2. tidak ada pengarang, tidak tergantung pada pengalaman seorang author pun ketika teks al Qur'an diturunkan.
3. Al Qur'an sebagai petunjuk, tidak dapat direalisasikan apabila menganut hermeneutika filosofis, yang meletakkan segi eksistensial dalam pemahaman atas makna obyektif dari isi kandungan al Qur'an. dalam al Qur'an jelas tidak menghendaki Nabi sebagai penulis al Qur'an, karena ia begitu memisahkan antara ucapannya dengan wahyu. Wahyu tidak berasal dari kemauan Nabi, hal ini dapat ditunjukkan pada teguran-teguran dan perintah wahyu kepada Nabi. kedua, wahyu tersebut terjaga dan tidak pernah berubah sesuai dengan pergantian kepentingan politis ataupun budaya yang menelingkupinya. (kecuali ada pembaharuan di bidang qiro'ah atau penyesuaian, karena perbedaan aksen masyarakat arab yang plural sehingga perlu disesuaikan dengan aksen Nabi)

pemikiran tentan hermeneutika atau "filsafat Pemahaman" atau "cara baca apa yang harus diterapkan " dalam teks al Qur'an, tidak dapat lepas dari pemikir kontroversial dari Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd. pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh ABu Zayd, sebagaimana berikut;

1.) Teks al Qur'an yang bersifat tanzili dan berasal dari Allah, dan diyakini sebagai berasal dari ruang hampa dan bersifat spiritual (sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas) tidak mempunyai makna apapun bagi segi penafsiran. Biarkan lah hal itu menjadi kepercayaan metafisik belaka. apapun al QUr'an, ia adalah teks, yang berupa kumpulan huruf dan berada pada wilayah empiris. Ketika al Qur'an itu turun, maka mau tidak mau ia harus berada pada tataran teks empiris, dimana teks empiris tersebut juga tergantung pada kondisi sosial dan budaya yang menelingkupinya. Apabila telah berada pada wilayah empiris, maka "makna" yang terkandungnya juga ditafsirkan oleh seseorang, dan seseorang tersebut apabila menafsirkan "teks" (al Qur'an) sebagaimana teks lain, ia menafsirkan berdasarkan pada pra konsepsi dan pra asumsi yang didasarkan pada pengalamannya dalam berinteraksi dan mengalami dunianya serta membentuk horizon yang sangat menentukan makna apa yang diambil dari hasil pembacaan al Qur'an tersebut.

2.) Teks tersebut mempunyai makna dalam manusia yang aktif yang memproduksi makna dari teks al Qur'an tersebut. bukan berada pada wilayah makna yang obyektif yang sudah termuat dalam al Qur'an. al Qur'an adalah teks yang mempunyai makna plural, relatif dan tergantung pada historisitas penafsirnya. Atau dalam pemikiran Abu Zayd, manusia yang otentik, historis, dan yang nyata dalam menafsirkan al Qur'an lah yang merupakan produsen "makna", karena teks al Qur'an tidak berbicara tentang makna dengan sendirinya, melainkan manusia yang menafsirkan al Qur'an lah yang menghasilkan rajutan makna dari teks al Qur'an itu sendiri. sehingga teks al Qur;an itu hidup karena darinya mampun menghasilkan beragam makna yang plural dan dihasilkan dari cara baca setiap orang yang berlainan antara satu dengan yang lainnya berdasarkan atas faktor budaya dan sosial yang menelingkupi penafsirnya.

3) teks al Qur'an berasal dari suatu konteks budaya tertentu. hal ini dapat dilihat dari asumsi yang dikembangkan oleh Abu Zayd sebagaimana berikut ini;
- segala teks dikonstruksi oleh kesadaran manusia dalam historisitasnya.
- teks yang terkonstruksi tersebut tidak lepas dari akumulasi dari sistem simbolik yang berlaku dalam suatu budaya tertentu.
- Pengalaman spiritual nabi, sebagai seorang manusia yang bergerak kreatif dalam mengalami dunia dan bagaimana kesadarannya terbentuk dalam budaya Arab lah yang lebih menentukan apa itu tmakna dari teks al Qur'an. Tetapi penafsiran oleh Nabi itu bersifat nisbi, karena penafsiran nabi kepada teks al Qur'an juga dipengaruhi oleh kondisi Nabi, dan hal itu berbeda dengan kondisi penafsir al Qur'an yang lain. sehingga harus ditekankan pada "aspek persamaan derajat" antara al Qur'an yang ditafsirkan oleh Nabi dan al Qur'an yang ditafsirkan oleh manusia yang lain. karena baik nabi maupun manusia yang lain sangat determinan terhadap konteks, budaya, sosial, politik, keadaan, lingkungan yang menelingkupinya.

tiga bentuk asumsi berfikir Abu Zayd seakan mempunyai tujuan tertentu, dimana menurut hemat penulis, lebih mengutamakan tujuannya daripada pandangan obyektif. Tujuan atau kepentingan dari pemikiran dari ABu Zayd jelas ingin melegalkan "kebebasan tafsir" dan pemikiran Liberal serta memberikan tekanan pada dekonstruksi. Nah tujuan itu lah yang sebenarnya paling utama diperhatikan untuk lebih memahami pemikiran Abu Zayd daripada memahami secara fair kelogisan cara berfikir Abu Zayd.

Asumsi-asumsi yang dibangun oleh ABu Zayd itu perlu dipertanyakan ulang;
1. karena Nabi sendiri tidak melandasi hal itu atas kemauan yang berupa respon atas kondisi lingkungannya tetapi hal itu berasal dari "wahyu yang diwahyukan" (wahyuy yuha)
2. Dalam memaknai wahyu, Nabi dibimbing oleh Allah.
3. Al Qur'an membentuk ajaran, sistem kepercayaan, peribadatan, dll yang obyektif dan hal itu tidak mungkin direduksi bahwa hal itu juga berasal dari budaya setempat.
4. Pereduksian itu terjadi, karena Abu Zayd lebih mempunyai prakonsepsi bahwa segala teks, berasal dari historisitas manusia yang memaknai teks bukan suatu makna yang obyektif yang berasal dari Tuhan. atau lebih mendekati permasalahan itu pada historisitas manusia yang memproduksi segala makna tanpa intervensi dari Tuhan.
5. Konsekwensi dari pemikiran Abu Zayd sendiri bertentangan dengan asumsi dalam al Qur'an sendiri, bahwa al Qur'an adalah petunjuk bagi manusia. dalam pemikiran Abu Zayd, terimplikasikan bahwa pemahaman akan teks al Qur'an tergantung pada penafsirnya yang tertelingkupi ruang dan waktu, dan mempunyai makna yang dinamis.

Abu Zayd lebih menekankan aspek positif dari humanitas, atau segi manusia lah yang kreatif, nyata, berdinamis, sehingga pluralitas makna dimaknai sebagi suatu hal yang positif. dan bergerak dari level inilah ia lebih mengutamakan segi eksistensial manusia dalam pemahaman, daripada teks itulah yang berbicara pada level kemanusiaan. Asumsi ini tidak meletakkan al Qur'an sebagai petunjuk, tetapi lebih menekankan kebebasan manusia dalam menafsirkan al Qur'an atau melakukan ijtihad kemanusiaan berdasarkan kebebasannya. Tetapi kebebasan dalam melakukan penafsiran tersebut, terdeterminasi oleh aspek sosial dan budaya setempat sehingga menimbulkan pluralitas makna.

Dalam logika Abu Zayd, kebenaran itu milik Tuhan (sepertihalnya banyak ungkapan yang dilakukan oleh para aktivis dan pemikir JIL). Karena milik Tuhan, manusia tidak mempunyai kebenaran, karena kebenaran ketika sampai kepada manusia bersifat relatif. Memang ada al Qur'an, tetapi pemahaman manusia terhadap al Qur'an pun relatif, sehingga manusia tidak memiliki kebenaran apapun, dan al Qur'an tidak mempunyai fungsi sama sekali bagi penjelasan tentang Kebenaran.Konsekwensinya adalah tugas kenabian menjadi rancu, karena asumsi bahwa tugas nabi menyampaikan risalah kebenaran menjadi tidak berfungsi, karena nabi adalah manusia, sehingga ia mempunyai kesalahan, dan apapun fikiran seorang muslim terhadap nabi adalah nisbi, relatif, sehingga nabi ada atau tidak sama sekali tidak ada manfaatnya, toh kebenaran sifatnya tetap relatif. Tidak hanya masalah Nabi, setiap pribadi mutlak menentukan apa itu kebenaran, baik itu menentukan kebenaran lewat al Qur'an sesuai dengan subyektivitasnya ataupun menafsirkan kebenaran dengan jalan melalui logika.
karena semua adalah nisbi, maka tidak ada suatu perintah apapun dalam al Qur'an, termasuk perintah untuk melakukan sholat, karena sholat ataupun tidak sholat sama saja. karena hal itu adalah kebebasan manusia, sholat tidak dipandang lebih baik daripada tidak sholat, karena tidak sholat pun adalah hasil kreativitas manusia dalam memahami isi al Qur'an. Oleh karena itu, jangan heran apabila kenisbian penafsiran al Qur'an diradikalkan sampai melegalkan perkawinan sejenis. Karena, menurut mereka, kasih Tuhan tidak mengenal orientasi seksual, sehingga diperlukan suatu pemahaman yang baru akan teks al Qur'an dan menekankan perlunya penghapusan atau pelepasan otoritas ulama (yang dianggap telah memaksakan penafsiran al Qur'an).
kita juga dibuat bingung oleh mereka, walaupun kesalahan sangat tampak di depan mata, tetapi mereka sama sekali tidak merasa telah merusak islam. Bahkan menyebutnya sebagai pembaharuan dan penyegaran pemikiran keagamaan dan merupakan suatu bentuk ijtihad yang baru.

(Na'udzubillahi min dzalik).

Read More......

4 komentar:

  1. Salam for temen2 KAMMI di UIN Suka.. and special for Arifin, yg ngelola, nulis 'n posting tulisan juga ngejawab posting sendirian.. hehehe...
    kasian amat sihh.. sejak dulu jadi single fighter... hahaha

    BalasHapus
  2. thank's atas perhatiannya...
    keefektifan dalam membuat satu blog organisasi atau mengatasnamakan komunitas mending ditangani oleh satu orang aja...
    ibarat ngidupin rokok.. cukup satu tangan aja yang main bukan banyak tangan hehehe
    selain itu emang sejak dulu aku menjadi single fighter, koz aku ga punya skill leadership yang tinggi selain itu sering ngantuk kalo ada rapat hahaha
    oke.. siapapun kamu,, salam aja..
    wssll

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  4. Assalamu'alaikum wr wb.. Buat Mas yg ninggalin komentar. Ma'ap banget komentar mas kehapus. ikhlasin aja ya, mas. tapi kalo ga salah isinya spt ini: jangan keminter, ga usah pake ilmu Barat, aqidah kami tercampur dg aqidah barat, serta izin mo nglempar botol aqua

    sebelumnya aku ucapin Alhamdulillahirobbil 'alamiin.. akhirnya ada yang numpang komentar dechh.. setelah sekian lama gue tunggu2 kok ga ada yg comment .

    tapi mbok ya kenalan dulu ama kita2 ini. malu ya ama kita2 ini?? ga usah malu, mas.

    Nah kalo dah kenalan.. boleh kalo mas itu nglempar botol aqua .. tapi kan kasian dong monitor komputernya mas.

    daripada nuduh yg nggak-nggak kan mending kan nulis dg cara yg sopan (islami) didahului dengan salam, memakai bahasa yg pantas digunakan, apalagi maksudnya menasehati. enak dong, kalo niatnya dakwah tapi dengan ngomel2in serta maen tuduh sembarangan aja.

    BalasHapus