Rabu, 04 Maret 2009

ORIENTASI TINDAKAN DALAM PERISTIWA KONFLIK SOSIAL FPI DENGAN PENGELOLA TEMPAT HIBURAN

Oleh: Setiawan

(05540013)

A. Latar Belakang

Selama ini agama dipandang sebagai sumber konflik sosial. Hal ini diakibatkan konflik dimana ajaran maupun nilai agama memotivasi dan mempengaruhi seseorang dalam bertindak. Realitas tersebut memungkinkan agama dapat berhadapan secara langsung dengan pihak-pihak negara seperti polisi maupun pengadilan. Negara di dalamnya terdapat hukum maupun perundangan untuk ditaati, dan akan bertindak tegas terhadap semua jenis anarkhisme.

Konflik yang melibatkan agama dapat disebabkan oleh beberapa hal, tetapi secara keseluruhan disebabkan oleh sentimensi atau aspek emosional keagamaan. Permasalahan emosional merupakan hal yang paling pribadi, sehingga ketika ada sesuatu fakta yang membangkitkan sisi emosional para pemeluk agama, maka konflik akan muncul, seperti kasus pemurtadan atau pendirian tempat peribadatan. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat islam yang didalamnya terdapat tempat peribadatan ummat beragama lain, tetapi juga masyarakat Indonesia Timur yang juga menentang segala bentuk pendirian tempat peribadatan.[1]

Emosional ini apabila tidak dapat diatur secara baik akan mengakibatkan konflik horizontal, seperti halnya kasus Ambon, Posso. Setiap agama mempunyai kepentingan tersendiri, apabila dilanggar dengan pihak lain akan sangat berpotensi terjadinya tindak kekerasan massal yang berujung pada anarkhisme yang bertentangan dengan prinsip hukum positiv itu sendiri.

Pola kerja hukum positif adalah apapun motivasi seseorang dalam melanggar hukum tidak diperhatikan, yang harus diperhatikan adalah seseorang itu bertindak apa yang melanggar tindak pidana dalam suatu pasal dalam KUHP. Motivasi keagamaan tidak dapat digunakan seseorang untuk membela diri di depan pengadilan keagamaan, walaupun motivasi seseorang dalam bertindak anarkhis ini dikarenakan lemahnya kontrol dan managemen negara dalam mengelola potensi konflik. [2]

Potensi konflik selamanya pasti ditemukan. Tidak hanya menyangkut permasalahan agama belaka. Konflik antar pendukung kesebelasan, konflik antara buruh dan majikan, konflik ekonomi, konflik politik dan sebagainya. Semuanya merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Hal yang perlu dilakukan bagaimana menjaga potensi konflik tersebut tidak berimbas pada konflik fisik maupun tindak kekerasan anarkhisme.

Salah satu bentuk konflik yang paling banyak mendapat sorotan publik salah satunya adalah konflik antara organisasi FPI dengan pengelola hiburan malam. Konflik ini sangat wajar terjadi di tengah masyarakat. Karena pihak FPI sendiri merupakan segolongan orang yang ingin menjaga nilai-nilai keislaman dapat langgeng di tengah masyarakat sedangkan di sisi yang lain, pengelola hiburan malam merupakan organisasi profit yang mana tujuan pengembangan kapital lebih diutamakan.

Konflik antar kedua kelompok ini sangat sering terjadi. Tidak hanya pada konflik verbal belaka, melainkan pada konflik fisik. Konflik keduanya tidak dapat diselesaikan dengan memenangkan salah satunya, karena bagaimanapun ada pihak yang merasa dirugikan.[3] Pihak pengelola hiburan malam untuk mencegah tindakan FPI menyewa para preman untuk mencegah tindakan FPI, sedangkan FPI bertindak agar nilai-nilai keislaman yang tengah tertanam di tengah masyarakat dapat dijaga dan tidak terpengaruh oleh keberadaan hiburan malam atau nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai keislaman.[4]

Konflik ini tidak selamanya dapat diselesaikan secara baik. Pihak polisi seringkali menjebeloskan pihak FPI ke penjara walaupun sebelumnya pihak FPI sudah melaporkan informasi-informasi yang dapat digunakan oleh pihak kepolitisian untuk menindak tegas pihak pengelola hiburan malam, seperti pertunjukan tari perut ataupun peredaran minuman keras di tempat hiburan tersebut. Pihak kepolisian bahkan diberitahu tentang rencana tindakan. Tidak hanya melapor pada kepolisian melainkan juga pihak media.[5]

Habib Rizieq Syihab dalam pidatonya juga mengungkapkan bahwa pihaknya mengecewakan media yang tidak memberitakan di tengah masyarakat secara fair. Seperti pemberitaan melalui kalimat-kalimat berikut ini: ”Telah terjadi pertikaian antara pihak FPI dan pihak warga. Hal ini terjadi ketika pihak FPI secara tiba-tiba menyerang sebuah hiburan malam yang diduga terdapat bentuk kemaksiatan”. Berita ini menurut Habib Rizieq merupakan pembelokan opini yang menyesatkan masyarakat.[6]

Fakta masyarakat mempunyai opini yang negatif terhadap FPI tidak selamanya adanya fakta obyektif tentang tindakan FPI, tetapi lebih terjadinya misinformasi tentang perilaku para anggota FPI itu sendiri kepada masyarakat. Masyarakat hanya dapat memperoleh informasi dari pihak media, sedangkan dalam dunia media (cetak maupun elektronik) mempunyai beberapa tahapan agar penyampaian berita itu dapat dikonsumsikan oleh masyarakat. Media mempunyai ideologis tersendiri untuk menampilkan realitas sesuai yang dikehendaki oleh media untuk mempengaruhi bagaimana pandangan masyarakat terhadap realitas. [7]

Pihak kepolisian sendiri tidak akan menyebutkan bahwa ia sendiri merupakan sebagai pelindung tempat kemaksiatan. Padahal dalam kacamata Habib Rizieq sebagaimana keterangan para informannya, banyak pihak hiburan malam yang menjalankan bisnis illegal secara terang-terangan dapat lancar. Hal ini sangat masuk akal mengingat banyak kasus yang melanggar hukum negara (perzinahan, perjudian,dan minuman keras) dapat langgeng walaupun dilakukan secara terus terang. Informasi-informasi ini sebenarnya bukan suatu bentuk rahasia lagi, melainkan sudah diketahui oleh banyak orang, tetapi masyarakat tidak dapat berbuat apapun, tindakan masyarakat terhadap tempat hiburan malam apabila tidak dapat mengajukan bukti dapat berakibat negatif pada masyarakat itu sendiri, misalnya masyarakat akan terkena hukuman akibat melakukan ”main hakim ” sendiri, ataupun ia akan terancam dengan keberadaan para preman ”peliharaan” para pengelola hiburan malam.[8]

Terjadinya bentuk distorsi informasi di tingkat media, memungkinkan kajian terhadap perilaku sosial FPI menarik untuk dilakukan penelitian sehingga dapat memungkinkan suatu bentuk keseimbangan informasi yang akan ditampilkan, sehingga realitas FPI tidak hanya memakai sudut pandang hukum positif ataupun keterangan pihak kepolisian saja melainkan juga banyak menampilkan bagaimana pandangan kehidupan orang FPI itu sendiri, sehingga konflik dapat dianalisa secara tepat dengan menggunakan kerangka teoritis yang tepat.



[1] Hussein Umar dalam buku Adian Husaini, Gereja-gereja dibakar : membedah akar konflik sara di Indonesia, (Jakarta : DEA Press, 2000)

[2] Abd A’la, “Merajut Kembali persatuan Bangsa” dalam Kompas, 3 Agustus 2000

[3] Simon Fisher dkk, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindakj, terj. Kartikasari dkk, (Jakarta: TheBritish Council Indonesia, 2001), hlm. 4

[4] Dalam Bab 6 Buku Habib Rizieq yang berjudul Dialog Amar Ma’ruf Nahi Munkar berisi tentang Prosedur Kerja Front Pembela Islam. Didalamnya termuat beberapa metode strategi dalam memperjuangkan nilai Islam. Prinsip utama dalam perjuangan FPI adalah Menghimpun fakta sebagai bukti hokum, Menghimpun dukungan konkrit masyarakat sekitar, dan Pelaporan dan tuntutan ke seluruh instansi negara yang berwenang. Bila prosedur hukum formal negara menemui jalan buntu dan bila penegakan ama maruf nahi munkar sudah mesti ditegakkan, dan bila berbagai pertimbangan sudah dilakukan dengan cermat dan sesuai syariat, maka FPI akan mengambil tindakan tegas dengan melibatkan segenap komponen umat. (Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab, “DIALOG FPI – Amar Maruf Nahi Munkar”, (Jakarta: Pustaka Ibnu Sidah, 2004), Bab VI)

[5] Wawancara dengan Habib Rizieq dalam situs resmi FPI, Habib Rizieq : "Ini Negara Mafioso! (http://fpi.or.id/artikel.asp?oy=cat-17)

[6] Disampaikan oleh Habib Rizieq dalam dialog dengan Ummat Kristiani yang diselenggarakan oleh Forum Arimatea.

[7] Sebagaimana wawancara Andri Rosadi dengan Sapta Husada (seorang anggota FPI) yang menyatakan bahwa keterangan atau gambaran FPI oleh media bias (Andri Rosadi, Hitam Putih FPI: Mengungkap Rahasia-Rahasia Mencengangkan Ormas Keagamaan Paling Kontroversial, (Jakarta: Nuun Publisher, 2008), hlm. 87

[8] Ibid., hlm. 123-125

Read More......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar