Senin, 23 Februari 2009

Oleh-oleh dari Pengajian Malam Selasa di Musholla DPD FPI DIY

Tulisan oleh-oleh Mas Setiawan dan Mas Arifin dari Silaturrahmi dengan Bapak2 dan Ibu2 FPI pada Hari Senin, 16 Februari 2009: ditulis Oleh Akhmad Arifin


FPI??? mungkin tiga huruf itu cukup membuat orang kaget dan bahkan sebagiannya lagi orang yang hanya mendengarnya pun bisa “terstimulasi”. Sebuah kata yang mengingatkan pada berita-berita tentang sekelompok orang yang suka menghancurkan barang dagangan, tempat hiburan ataupun kumpulan segolongan orang yang suka berperang dengan pihak lain. Di mata sebagian orang yang lain mungkin lebih berpandangan ekstrim, mereka banyak yang menganggap bahwa FPI itu kumpulan preman yang dipakaikan pakaian santri. Apa yang banyak dikatakan orang itu perlu diluruskan dan semestinya dapat bertabayyun langsung. Untuk keperluan silaturrahmi + tabayyun itu, kami langsung “terbang” menuju kantor FPI DIY di Jalan Wates dengan seorang teman, sekalian untuk keperluan penelitian.

wahh.. gak betul itu mas, terkadang media itu suka buat berita yang salah tentang kita-kita ini!!, kemaren itu katanya kita ini memukulin anggota Majlis Mujahidin, trus kita juga diberitakan menganiaya anggota Garda Bangsa. kemarin itu sampai ketika kita disini, banyak orang dari elemen NU menyerbu kita, padahal kita saat ini sedang pengajian, tapi alhamdulillah kita bisa melerai dan menjelaskan dan akhirnya perkelahian antar ummat islam itu sendiri bisa dihindarkan” kata seorang anggota Dewan Syuro FPI kepadaku ketika di sebuah acara pengajian malam selasa. Sebuah acara yang juga saya hadiri bersama dengan salah seorang sahabatku di keorganisasian KAMMI Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.

Pengajian malam selasa jangan dibayangkan itu sekumpulan orang-orang melarat yang berjenggot dan lusuh, dengan isi pengajian “kelas tinggi” misalnya pengajian dengan Tema “penegakan syari;at islam”, “penegakan sistem khilafah”, ataupun dengan tema-tema yang berisi seruan ekstrimistisme. pada Acara itu sendiri dibahas tentang tema ciri-ciri orang munafik layaknya pengajian Bapak-bapak dan Ibu-ibu di Masjid kampung. Pengajian itu sendiri sebagian besarnya adalah Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang rata-rata berusia 40-an ke atas, sedangkan pemudanya hanya ’segelintir’ atau tidak sampai 1/5nya aja. Bapak-bapaknya penampilannya bersahaja dan sama sekali tidak ditemukan tampang-tampang “terorism”, mungkin kalo itu tempatnya tidak di Musholla dekat kantor FPI barangkali dikira acara tahlilan, arisan ataupun malah bisa dikira acara RT.

Penjelasan dari Ust Wahyudi (salah seorang anggota Dewan Syuro) ketika ditanya tentang orang yang hadir dalam acara pengajian itu mungkin bisa menjawab kenapa yang hadir cuma orang-orang tua saja. “Mas, Kalo pengajian malam selasa yang datang bapak-bapak, nahh.. pemudanya itu datangnya cuman kalo ada acara ‘grasukan’. toh kalo ada itu pun sedikit“. Saya hanya manggut-manggut saja dengan penjelasan dari Ust. Wahyudi sebelum acara pengjian dimulai.

Saya tidak tau ketika itu Pikiran saya lantas terbang “kemana-mana”dari laskar FPI, ke laskar-laskar sipil kaya’ Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) ataupun Joxin’s (Joko Sinting) yang ada di Yogyakarta. bayangan saya langsung teringat bahwa gerakan-gerakan itu berisi orang-orang secara moral sama sekali tidak layak sebagai “mujahid” ataupun seorang “da’i nahyu munkar”. kenangan saya ketika mengikuti training Ustadz TPA yang diadakan di wisma AMM - Kotagede ketika bulan Ramadhan tahun 2004, bagaiman saya melihat secara jelas bgmn kumpulan “mujahid” itu ketika saat sholat tidak menunaikannya, bahkan tanpa memperhatikan waktu sholat asyik dengan permainan mereka, walaupun tempat nebeng mereka bersebelahan persis dengan masjid.

“sholat itu gak penting yang penting Jihad, Islam itu ya … Jihad!!” itu sebuah ungkapan yang pernah sekali aku dengarkan dan sampai kini aku masih teringat, ingin batin berteriak sekeras mungkin. kumpulan “mujahid” itu memang kebanyakan tidak beraut wajah “berseri” layaknya seorang muslim yang hanif. Mungkin lebih tepatnya mereka itu lebih mirip dengan pemuda Karang Taruna ataupun pemuda kampung daripada pemuda masjid yang beristiqomah pada gerakan nahyu munkar.

seandainya sekumpulan pemuda banyak yang kebanyakan tidak tahu ajaran agama, dan tidak pernah tergembleng ruhiyahnya, maka sangat mudah terprovokasi dengan isu-isu yang tidak jelas datangnya bahkan mungkin kalo tidak ada lembaga atau dewan yang mengawasinya dapat dimanfaatkan “tenaga”nya untuk keperluan di luar urusan nahyu munkar. Mungkin saya bisa salut dengan konsistensi dan ghirah yang dimiliki oleh para laskar Joxin’s (diliat dari pemberian namanya saja sudah aneh kan??) ataupun GPK, tetapi hal itu harus diimbangi dengan amaliyah, ruhiyah dan ‘ilmiyyah, suatu hal yang semestinya tidak dapat dilepaskan dari karakteristik mujahid atapun seorang da’i (da’i nahy -l munkar).

Pertanyaannya adalah apa hubungan kedua laskar itu sama FPI?? secara organisatoris mungkin berbeda, tetapi mempunyai “implikasi tujuan” pada praktek di lapangan yang sangat berkaitan. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka “infiltrasi” atau masuknya para anggota GPK ataupun Joxin’s ke tubuh FPI sangat dimungkinkan. apabila hal ini tidak diatur, ke depannya mungkin citra FPI akan tercoreng dengan tingkah laku para anggotanya. suatu hal yang mungkin sudah dipikirkan oleh para petinggi FPI di Pusat.

FPI di pentamburan sudah menerapkan aturan baru dengan membatasi dengan memfilter secara selektif para anggotanya. Pada tahun 2004, pihak FPI Pusat menarik semua kartu keanggotaan, dan sejak itu dilakukan “pembersihan” dari unsur-unsur laskar FPI dari anggota-anggota yang tidak mempunyai karakteristik ideal bagi seorang “mujahid” ataupun bagi da’i nahyu l munkar. Saya kira aturan ini harus segera direalisasikan bagi seluruh DPD ataupun DPW FPI di seluruh indonesia, karena apabila tidak dilaksanakan mungkin citra FPI sebagai sebuah organisasi yang mempunyai tujuan mulia akan ternodai dengan pihak-pihak yang hanya mengejar “gelar kejantan” belaka, dan pada akhirnya yang merugi adalah pihak FPI atau bahkan Habib Rizieq sendiri, bahkan semua elemen gerakan islam lainnya.

Sebuah gerakan yang tegas dalam rangka untuk melenyapkan kemaksiatan merupakan gerakan yang bertujuan sangat mulia. Tetapi yang harus diperhatikan, hal itu harus sesuai dengan (1) nilai-nilai keislaman. Ada salah satu wejangan yang diberikan oleh seorang mantan anggota DI/TII kepada saya suatu waktu, Apabila kamu akan mendirikan sebuah negara Islam, dirikan lah Islam terlebih dahulu di hatimu!!”. nilai karakteristik yang dipunyai FPI semestinya harus sebagai seorang yang sholeh dan mukhlish bahwa apa yang ia lakukan semata-mata demi Allah semata. (2) harus dapat menempuh prosedur hukum (karena negara ini memang negara hukum), dan menghindari sebisa mungkin anarkhisme, kecuali apabila hal itu terpaksa untuk dilakukan, misalnya sebagai reaksi terhadap kelambanan atau bahkan ketidakpedulian pihak kepolisian dalam menyikapi kasus kemaksiatan ataupun aktivitas kepremanan,(3) mampu menciptkan opini yang baik dari masyarakat. Hal ini juga dipertegas oleh Habib Rizieq bahwa pembentukan citra positif sangat membantu bagi kinerja dakwah. sebaliknya pelabelan negatif sangat menghambat kinerja dakwah yang dilakukan. Oleh karena itu diperlukan maksimalisasi penggunaan media komunikasi serta mengusahakan perbaikan diri dengan melakukan aktivitas bagi kebaikan masyarakat secara terus menerus.

———–

…………. Pikiran terbang ke segala arah ini benar-benar berhenti setelah acara usai. Dan alhamdulillah setelah acara selesai itu, saya diberikan kesempatan yang besar untuk ngobrol-ngobro sama mereka. Beberapa dewan Syuro FPI di Yogyakarta walaupun rata-rata sudah berusia lanjut, tetapi mereka mempunyai kecerdasan dan kedalaman agama. Selama “ngobrol ria” dengan mereka, tertangkap jelas sifat mereka yang tawadhu’, mempunyai pikiran yang bijak dan sangat moderat. Mereka lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan orang yang lebih muda berbicara, Bahkan bapak-bapak itu menerima dengan ikhlas hati beberapa “pandangan kami yang berbeda” yang aku ajukan kepada mereka, suatu sikap yang tidak semua orang bisa melakukannya.

Di perjalanan pulang dari pengajian itu, kami banyak mengobrol di jalanan dengan teman kami. “Akh, Bagaimana Kalo setelah lulus jadi anggota FPI?” ajak saya, “wahh.. kayaknya menarik untuk dicoba tuhh, akh” sahut teman saya.

salute for Dewan Syuro DPD FPI DIY ……. God Bless You!!!

Read More......

2 komentar:

  1. Akh, Bagaimana Kalo setelah lulus jadi anggota FPI?” ajak saya

    Gus Rif, sayang sekali seorang keturunan kiai, mondok bertahun-tahun dan kuliah di IAIN, malah jadi laskar FPI.

    Hari-hari indah di Pesantren dulu apakah kau lupakan, Gus? Kita makan, ngobrol, dan saling ngerjain (bahkan kau dulu suka usil mendorong2 badanku ketika aku sholat)

    Aku ga' tau apa yang ada di isi benakmu, sebuah tradisi keislaman aswaja yg mengajarkan cinta kasih dan menolak segala bentuk kekerasan, kenapa anda sekarang dengan santainya bersekutu dan bahkan akan menjadi bagian dari mereka??

    semoga Gus sadar akan pilihan anda, dan segera menginsyafinya. wassll

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum wa... ilkh

    Lebih baik hal ini kita bicarakan secara baik-baik, sehingga tidak saling paham. alangkah lebih baiknya untuk membaca posting tulisan saya secara detail agar dapat memahaminya secara baik.
    Saya tidak pernah berubah dari dulu hingga kini.

    apa yang diajarkan di pesantren masih lekat dalam benak saya hingga kini. Saya juga merindukan suasana ketika kita masih berada di pesantren, saat ini saya masih merindukan suasana keceriaan kita dulu.

    Sorogan dan bandongan bareng, bareng2 juga apabila ngajak mbolos kegiatan ataupun mbolos di madrasah. Enak rasanya merindukan moment2 dahulu, dan Insya ALlah acara haul besok akan aku usahakan hadir di acara tersebut.

    Dan hingga saat ini pun saya tidak ada perbedaan sama sekali dengan waktu itu. Tentang laskar FPI? saya kira tak ada permasalahan ataupun perbedaan yang mendasar antara kita dan mereka. Dan dari dulu saya selalu berkomitmen pada ukhuwah Islam, serta mengutamakan prinsip khusnuzhon dalam memandang semua pergerakan Islam, tak terkecuali FPI.

    Yang saya herankan adalah kenapa Mas Mahfuzh tidak mempermasalahkan temen2 yang bangga jadi kaum liberalis, bangga dengan Nietzche, Marx, bangga dengan Freud, dan bangga dengan pemikiran2 keagamaan yang jelas2 menyalahi pokok ajaran agama Islam itu sendiri????? padahal pemikiran2 itu sudah usang alias basi dan terbukti tidak membawa kemaslahatan apapun bagi indonesia, kecuali hanya memprovokasi pihak lain untuk konflik. Malu rasanya liat banyak kaum nahdliyun yang berfikiran kaya' gitu.

    Di Depan kita ada banyak pemurtadan, kemiskinan ekonomi kaum muslimin, banyaknya tempat kemaksiatan yang ke depan (sudah pasti) mengganggu nilai-nilai keislaman. Apakah hal itu dapat diselesaikan dengan bermain-main logika keagamaan? bermain logika keagaman bukan suatu hal yang dapat membuktikan kecerdasan kita, mas. Kusir Andhong pun apabila kita training setengah jam akan mampu membuat logika2 keagamaan a la kaum liberalis muslim.

    Saya kira lebih baik menjalin ukhuwah dengan muslim yang lain, memahami diantara kita, daripada menjadikan orang2 sosialis, pemilik diskotek, ataupun para kaum waria / Homoseksual (atas nama sbg orang2 yg lemah dan tertindas), sebagai sekutu-sekutu terdekat kita, mending menjadikan para pejuang Islam yang mukhlis untuk menjadi sekutu bagi kita. iya tho??

    Wassalamu'alaikum ….. ilkh

    BalasHapus